Ribuan buruh di Indonesia kecewa menanggapi keputusan pemerintah yang menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sekitar 1,09% saja. Persentase tersebut jika dinominalkan paling banyak hanya Rp 37000,- saja. Itu pun tidak merata di semua daerah.
Kenaikan UMP sebesar Rp37.000 justru menjadi nominal terbesar yang diberlakukan di provinsi Jakarta. Sementara kenaikan UMP di daerah lainnya tentu lebih rendah lagi. Misalnya saja di Jawa Tengah. Kenaikan UMP-nya hanya 0,78% atau jika dinominalkan sekitar Rp13.000 saja.
Tak Layak Disebut Kenaikan
Kenaikan UMP tahun 2022 itu sangat jauh dari harapan buruh yang menginginkan peningkatan upah antara 5-10%. Bahkan, Mirah Sumirat selaku presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia menyebut kenaikan upah tahun 2022 sebagai hal yang memalukan.
Menurut Mirah, nominal kenaikan senilai Rp13.000-38.000 itu setara dengan harga seporsi makan siang atau malam. Tentu tidak layak jika nominal itu disebut ‘kenaikan UMP’ yang notabene bersifat tahunan. Dalam setahun hanya ada sekali kenaikan upah dan itu pun kurang berpihak pada buruh.
Jika berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, kenaikan UMP tiap tahunnya bisa mencapai 8%. Seperti UMP Jakarta pada tahun 2018 senilai Rp3.648.036 naik menjadi Rp 3.940.973 di tahun 2019, dan naik kembali menjadi Rp4.276.350 pada tahun 2020.
Sementara UMP tahun 2021 tidak mengalami peningkatan lantaran melemahnya pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi. Tentu kenaikan upah di tahun 2022 diharapkan datang dengan nominal yang layak, apalagi karena kehidupan yang semakin sulit di tengah pandemi.
Banyak orang kehilangan pekerjaan karena di-PHK, dirumahkan, hingga terpaksa bekerja bagai kuda dengan gaji yang disunat tanpa jaminan. Tak heran, ribuan buruh melakukan aksi ke jalan raya menuntut kenaikan upah yang lebih layak di tahun 2022.
Tapi harapan tinggal harapan, karena nominal kenaikan upah tahun 2022 yang begitu kecil itu telah disahkan. Tahun baru pun tinggal menghitung hari dan para buruh dipaksa ikhlas menerima kenaikan upah seharga 1 porsi makan siang itu.

Gambar dari Google Image
Formula Kenaikan UMP
Pada tahun-tahun sebelumnya, perhitungan kenaikan UMP merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015. Yang mana, kenaikan upah ditentukan berdasarkan upah yang sedang berjalan serta naik turunnya inflasi dan pendapatan produk domestik bruto (PDB).
Itu artinya, kenaikan upah sangat bergantung pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi setahun terakhir. Ketika ekonomi memburuk, kenaikan upah hanya menjadi wacana yang tak berujung. Tak peduli seberapa banyak waktu dan tenaga yang dikeluarkan buruh untuk kerja, kerja, dan kerja.
Di tahun 2022, formula kenaikan upah lebih spesifik lagi, karena adanya tambahan variabel dalam perumusannya. Kali ini merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 36/ 2021 yang merupakan turunan UU Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020.
Sejumlah variabel tambahan itu meliputi perhitungan paritas daya beli, median upah, hingga tingkat penyerapan karyawan. Rumusan kenaikan upah juga ditentukan dari batas upah maksimum dan minum yang mengacu pada jumlah anggota keluarga serta rerata konsumsi per kapita.
Untuk menghitung semua variabel itu, pemerintah menggunakan rilisan data statistik dari BPS dan lembaga-lembaga yang relevan. Tujuannya, seperti kata Menaker Ida Fauziah, yaitu untuk menciptakan keadilan pengupahan dan memupus kesenjangan UMP antar daerah.
Lalu, bagaimana realitanya di lapangan? Melalui perumusan yang panjang dan rumit, kenaikan upah tahun 2022 ternyata hanya menghasilkan persentase sebesar 1,09% saja. Bahkan, angka tersebut kurang mewakili harapan para buruh sebenarnya.
Jika melihat dari kacamata pemilik usaha, kenaikan upah buruh yang tak terlalu tinggi tentu menjadi peluang yang cukup menguntungkan. Beberapa pengusaha kesulitan membayar upah buruh yang terlampau mahal, terutama di kota-kota berupah minimum besar, seperti Jakarta atau Surabaya.
Tingginya upah minimum di beberapa daerah juga menghambat tumbuhnya investasi usaha di kota tersebut. Bahkan, beberapa pengusaha lebih memilih repot pindah kantor atau pabrik ke kota ber-UMP rendah. Sehingga bisa menghemat anggaran gaji karyawan yang harus dikeluarkan tiap bulan.
Paradoks Bersyukur

Gambar dari Google Image
Di tengah gencarnya penolakan kenaikan upah yang hanya berkisar 38 ribu, salah satu ucapan Ida Fauziah sempat viral. Menteri tenaga kerja yang menjabat sejak 2019 lalu itu menyebutkan upah buruh di Indonesia terlalu tinggi. Hal itu ia ungkapkan berdasarkan komparasi produktivitas buruh.
Menurut Ida Fauziah, indeks median upah ideal berkisar 0,4-0,6%, tapi di Indonesia mencapai 1% lebih. Sehingga banyak pengusaha kesulitan untuk menjangkaunya. Sontak, ucapan menteri Jokowi tersebut menjadi sorotan masyarakat, baik di internet maupun di kehidupan nyata.
Di luar kontroversi tersebut, beberapa orang berdalih menebarkan positive vibes dengan mengajak siapapun untuk senantiasa bersyukur. Menerima rezeki yang kita dapatkan sehari-hari, termasuk kenaikan upah buruh yang hanya cukup untuk membayar seporsi nasi.
Di tengah tuntutan kenaikan upah lebih layak yang tak didengar, satu-satunya hal yang bisa dilakukan buruh tentu hanya diam menerima. Itu respon alamiah yang tak perlu dikampanyekan. Sebab, anjuran bersyukur lama kelamaan menjadi toksik akibat terpolusi banyak kepentingan.
Para buruh diminta senantiasa bersyukur, sementara pembuat keputusan kurang memperhatikan kondisi buruh di lapangan. Mulai dari sistem kerja tertarget hingga kecenderungan hustle culture berlebihan. Lalu ketika ditagih pengupahan yang layak, jawabannya adalah “syukuri apa yang ada”.
Bersyukur adalah tanggung jawab setiap manusia kepada Tuhan dan tak selayaknya dijadikan dalih pembenaran atas segala kebijakan pemerintah. Sebab, yang menjadi masalah bukan banyak sedikitnya syukur. Tapi soal kebijakan pengupahan yang perlu ditata ulang.
Menata Ulang
Regulasi perhitungan kenaikan UMP baru yang mengacu pada UU Cipta Kerja perlu dikaji ulang. Berbagai variabel yang tadinya dibuat untuk menciptakan keadilan, apakah benar-benar berpihak pada masyarakat atau hanya segelintir orang.
Begitu pula dalam penggunaan data statistik yang bersifat makro, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dll. Apakah data -data tersebut benar-benar mencerminkan realitas sebenarnya, terutama yang terjadi di wilayah mikro, seperti kehidupan para buruh, tenaga lepas, dsb.
Bagaimanapun, pengupahan buruh secara layak merupakan investasi menguntungkan bagi para pengusaha. Ketika para buruh mendapatkan upah yang layak, mereka pun akan lebih bersemangat menyelesaikan pekerjaan dan menunjukkan performa gemilang untuk perusahaan.
Sebaliknya, ketika upah yang diterima kurang layak, bukan hanya mogok kerja 1-2 hari yang akan terjadi. Tapi juga keluh kesah yang tiap hari menghampiri. Buruh merasa diperlakukan kurang manusiawi dan akhirnya bekerja ala kadarnya saja. Kalau sudah begini, pengusaha sendiri kan yang repot?
Bagaimana? Apakah Anda sudah mengerti lebih jauh terkait kenaikan UMP 2022 yang hanya tinggal menghitung hari? Selain kenaikan UMP, masyarakat juga perlu meningkatkan wawasan seputar kartu prakerja, UMR, BPJS, dan layanan ekonomi pemerintah lainnya.